Orang-orang bilang, bagian paling berat dari menjadi dewasa adalah dipaksa terus hidup,
meski dunia di dalam dirimu sedang runtuh pelan-pelan.
Duka harus disembunyikan di balik rutinitas.
Kesedihan dibungkam oleh tenggat waktu.
Dan kamu… harus tetap berjalan, entah kaki itu masih kuat atau tidak.
Hari ini, aku memilih berhenti.
Bukan berhenti bernapas, tapi berhenti menjadi ‘dewasa’
dalam definisi dunia yang kaku dan tanpa ruang untuk hancur.
Namaku Trah Renjana.
Dalam bahasa Sansekerta, namaku berarti garis keturunan yang membawa hasrat kuat pada perasaan — seperti rindu, cinta, atau luka yang tak kunjung sembuh.
Aku pekerja kreatif di ibukota,
dengan jam kerja yang kabur batasnya, seperti batas antara aku yang bekerja dan aku yang hidup.
Usiaku baru 30.
Dan di awal tahun ini, aku duduk di hadapan seorang psikolog yang menatapku lembut
lalu berkata pelan:
“Gimana kabar kamu hari ini?”
Tak ada yang terlalu istimewa dalam hidupku.
Sebagian gajiku selalu mengalir ke rumah — untuk orangtua dan kakak.
Jika ada sisa, kutabung... walau tak yakin masa depan macam apa yang menunggu.
Karena, jujur saja,
aku tidak pernah benar-benar punya rencana untuk hidup lama-lama di dunia ini.
Temanku tak banyak.
Katanya, berteman denganku seperti masuk ke dalam ruang yang terlalu sunyi.
Dan diamku sering disalahartikan.
Padahal aku diam bukan karena tak peduli —
aku hanya tak tahu bagaimana caranya berbicara tanpa membebani.
Kadang aku bertanya dalam hati,
kenapa ya, Tuhan terlihat lebih sering menyenangkan semua orang... tapi tidak aku?
No comments:
Post a Comment