Besok sudah Senin lagi, jadi aku harus pulang. Tidak. Aku tidak suka pulang. Aku tidak suka perasaan-perasaan yang begitu berat padahal hanya untuk pulang saja. Sebab aku lebih suka di sini, di kota asing yang orang-orang nggak perlu tau aku siapa dengan cerita didalamnya.
Tadinya aku suka semua tempat kecuali rumah, karena di sana terlihat menyeramkan. Tapi sekarang banyak tempat yang tidak aku sukai, terutama keramaian Jakarta. Tidak ada yang waras di kota ini. Kadang aku bingung, kenapa cerita horor harus tentang hantu? Kenapa tidak tentang bapak yang meninggalkan ibu? Kenapa tidak tentang luka ditubuh? Atau orang-orang yang dipaksa terus menjalani hidup padahal ia sedang berduka? Padahal ia sedang nggak mau berjalan ke mana-mana?
“Aku udah nggak punya perasaan apa-apa lagi ke kamu”
Tunggu dulu, ini bukan ending-nya. Ini sungguh-sungguh awal mulanya. Yah, meskipun aku juga tidak bisa menyangka kalau cerita ini harus dimulai dengan sangat malang. Aku tidak paham betul kenapa perasaannya tiba-tiba hilang begitu saja disaat kita sedang baik-baiknya. Katanya, kita tidak seperti pasangan tapi cuma sekadar teman. Aku bingung. Memangnya ada yang salah? Bukannya pasangan nanti akan saling melengkapi berbagai posisi? Bukankah pernikahan akan diisi lebih banyaknya dengan obrolan-obrolan? Cuma itu saja yang aku dengar, selebihnya aku tidak mendengar suara apapun meski dia menjelaskan lebih banyak.
Saat itu aku memberikannya ruang untuk berfikir lagi, tapi dipertemuan selanjutnya aku terpaksa harus mengiyakan. Aku tidak suka membela sesuatu yang sudah tidak ada artinya buat dia. Berjuang sendiri dan menambah alasan kadang hanya menggandakan beban. Buatku, kata putus tidak perlu penjelasan panjang lebar. Putus jadi tanda titik yang pasti. Sekali diucapkan, sudah jelas tersampaikan.
Perpisahan membawa alur cerita nasib manusia jadi beberapa kemungkinan. Tokoh baik atau tokoh jahat. Tokoh utama atau tokoh pembantu. Dan di matanya sekarang.. aku hanyalah tokoh jahat. Setelahnya? Kehadiranku sudah nggak berarti apa-apa lagi di hidupnya.
Semua orang pergi. Bapak pergi. Ibu terluka, aku pun juga. Kadang aku bingung, siapa di antara kami yang lebih butuh pertolongan? Apakah ibu? Tapi ibu bisa menahan rasa sakitnya. Buatnya, luka adalah goresan yang pertama, yang setelahnya sudah bukan luka lagi namanya.
Tadinya kupikir ibu gila, mana mungkin manusia bisa sekuat itu. Dari pengalamannya aku tau, tidak mungkin cinta memiliki warna biru. Dan tidak mungkin seorang laki-laki menyakiti perempuan yang dicintainya. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak mau ditolong.
Dan aku sekarang? Mungkin saja lain waktu aku akan menemukan sebuah rumah lain yang seperti kata orang-orang, tidak selalu bentuknya tempat, tetapi juga pada seseorang yang tetap. Tapi aku sadar, seseorang itu tidak akan pernah tetap. Ia berubah, berganti lalu berhenti. Aku tidak tahu apa-apa.
Berulang kali aku bertanya pada Tuhan, mengapa ini harus dinamakan hidup? Tapi Tuhan tidak juga menjawabnya. Lantas kupikir diam-Nya adalah jawaban. Besok sudah Senin lagi, jadi aku harus pulang. Good bye and see you again.
Aku titipkan kamu di sini.
Solo, December 2023.
No comments:
Post a Comment